Sepuluh hari akhir bulan
Setiap hari ganjil berbondong-bondong sepasang merpati bersorak-sorai
Menyeduh kopi di pelataran masjid
Menyiksa air mata agar turun semua doa-doa
Perjamuan pun telah usai
Tak ada malam lailatul qadar
Yang tersisa kini hanya malam lailatul puisi
Mengisi detik dan hari sekali lagi
Perhelatan akan segera datang
Bumbu masak mengepul di antara api yang terus menyala
Belahan paha di mana-mana
Sudut kota gemuruh menyambut hari raya
Tanya anak kecil kepada seorang bapak
“Apa bajuku baru, apa sandalku baru, apa-apa baru”
Pertanyaan terus menghujan tanpa pikir panjang
Panggilan itu tampak nyata
Menyiksa air mata
Merogoh kocek tak seperti selembar tisu
Tapi terus jalan sambil berjabatan
Senyum manis seperti bahagia
Tak tau siapa yang merintih sosok sendu
Yang ada hanya gundukan tanah dan batu nisan
Terus berdoa agar engkau diterima
Tak ada malam bait ganjil
Yang hanya bulan sempurna
Manusia terus bertanya-tanya
Langkah kaki menjadi jengah
Menyapa manusia-manusia
Yang tersisa hanya rapalan rindu
Semua akan datang pada masanya
Kebaikan terus berhamburan
Agar terlihat mana malam bulan suci
Atau malam seribu bulan
Malam puisi telah usai
Tinggal genderang menyala
Ketupat, lepat, opor ayam, rendang, bakso, kikil, semua nyata
Yang tidak hanya “apa masih tersisa kata-kata dan cinta”
Banyuwangi, 30 Maret 2025
Ihya Ulumuddin