Mengirim tulisan ke media massa adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Mulai proses penulisan hingga penantian keputusan redaksi memiliki kebahagiaan tersendiri. Tujuannya bukan semata untuk bisa diterima dan dibaca oleh pembacanya. Namun, untuk mengukur kemampuan sejauh mana pikiran pribadi bisa diterima orang banyak.
Kurang lebih dua tahun saya merasakan kemandekan dalam menulis. Beberapa kali mencoba untuk mengirim tulisan ke media massa tapi gagal, tidak diterima redaksi. Dengan kata lain tulisan saya dianggap belum layak baca, gagasannya dinilai lemah, tidak solid, dan sebagainya.
Hal itu sangat meresahkan bagi saya. Di mana sebelum itu, tulisan yang saya kirim ke media massa terbilang sangat jarang ditolak. Pasalnya, dua tahun lalu, dari lima tulisan yang dikirim ke media massa, paling tidak, empat tulisan pasti diterima. Bahkan, pada saat tertentu dari semua tulisan yang dikirimkan, semuanya diterima.
Belakangan saya berupaya keras mencari apa yang menjadi penyebab kemandekan tersebut. Satu persatu bagian perbagian episode perjalanan hidup yang terlewat selama dua tahun saya coba untuk petakan. Alhasil, pencerahan atas problem yang membuat gundah ini saya dapatkan perlahan.
Di awal, saya mengira perubahan lingkungan sosial yang, sebelumnya di Malang berpindah ke Mojokerto, menjadi penyebabnya. Namun, kondisi ini sama sekali tidak berarti. Sebab, secara sosial lingkungan yang baru ini dipenuhi dengan orang yang berilmu, berwawasan luas, alim, bijaksana, visioner, luhur, atau katakanlah positif vibes (memiliki aura positif).
Setelah berbulan-bulan merenung dan berupaya melalui bertanya, berdiskusi, dan membaca, saya menemukan jawaban dari masalah ini yakni, pertama kecongkakan dan kedua pola/kebiasaan hidup.
Kecongkakan yang saya maksud adalah perasaan angkuh karena sudah seringkali diterima oleh media massa, sehingga tulisan yang saya kirimkan tidak akan ditolak sekalipun tidak sesuai tajuk, tidak fokus, dan tidak aktual. Pada kondisi ini saya mulai menulis sekenanya, menganggap enteng sebuah gagasan, dan mengenyampingkan etika dalam proses menyusun atau mengirim tulisan.
Adapun kebiasaan hidup yang saya maksud adalah kebiasaan harian yang dua tahun lalu selalu saya lakukan, tetapi kemudian sudah mulai jarang atau tidak sama kekali, yakni membaca dan menulis setiap hari. Bukan berarti saya tidak membaca dan menulis. Jika dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, jumlah halaman buku yang saya baca selama dua tahun yang terlewat justru mungkin lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, kebiasaan itu tidak saya lakukan setiap hari.
Umpamanya, dalam satu hari saya bisa menamatkan satu buku setebal 300 halaman, sedangkan keesokan harinya atau satu bulan berlalu saya sama sekali tidak membaca. Satu atau dua bulan kemudian barulah saya membaca kembali. Begitu seterusnya.
Sama halnya dengan menulis. Dua tahun yang terlewat bukan sama sekali tidak menulis, saya tetap menulis tetapi tidak melakukan hal itu setiap hari. Dalam tiga bulan saya hanya menulis satu tulisan. Sementara di tahun sebelumnya, saya bisa menulis tiga sampai empat ragam tulisan dalam satu hari, dan itu menjadi kebiasaan setiap hari. Ada yang saya simpan untuk diri sendiri dan ada yang saya kirimkan ke media massa. Bahkan ada masanya dalam satu hari, dari empat tulisan saya yang berbeda terbit di empat media yang berbeda pula. Saya merasa hari itu adalah hari yang penuh nikmat luar biasa.
Maka dari itu, kecongkakan dan kebiasaan hidup adalah dua perkara yang wajib ditinggalkan oleh seorang penulis. Pendapat ini sejalan dengan pesan dari Wartawan Kompas, Agnes Aristiarini dalam 5 Kunci agar Tulisan Diterima dan Diterbitkan ala Chatib Basri di Kompas.id, bahwa salah satu kebiasaan yang harus dijaga oleh penulis adalah tetap rajin membaca novel, sebab kebiasaan itu sangat menolong para penulis untuk belajar menata alur pikiran dan memperkaya kosakata. Begitupun Pengacara di Themis Indonesia, Ibnu Syamsu Hidayat yang mengatakan sikap seolah-olah ingin menulis segalanya adalah hal yang harus ditinggalkan penulis.
Semoga bermanfaat
Penulis: Muhammad Farhan Azizi (Instagram: @mfarhan_azizi)