Sangat sulit dibayangkan Indonesia bisa merdeka dari penjajah. Penjajahan Belanda hingga Jepang dilawan dengan peralatan seadanya. Namun beralaskan cinta kepada tanah air para pahlawan berangkat melakukan perlawan. Kekuatan ideologis disertai cita-cita yang luhur membentuk semangat juang ’45 para pahlawan (dari kalangan nasionalis dan ulama), sehingga berani mati demi Indonesia.

Apabila kita lihat secara sepintas, keadaan itu sekarang seakan sudah berputar 180 derajat. Tidak ada–rasa-rasanya–indvidu atau kelompok yang rela mati demi Indonesia sekarang ini. Yang ada, kita justru memanfaatkan negara kesatuan republik Indonesia untuk melindungi diri. Dengan kata lain, sekarang kita meminta Indonesia rela mati demi kita. Negara yang dahulu diperjuangkan dengan penuh cinta dan tumpah darah, kini harus berkorban untuk warganya yang bisa dibilang sudah tidak mencintainya lagi.

Contoh kecil yang bisa membuktikan pernyataan di atas adalah kecintaan para pendiri bangsa pada buku. Seperti dikutip dalam Seri Buku Saku Tempo: Bapak Bangsa-Sukarno tahun 2017. “Kecintaannya pada buku, membuat Soekarno menyimpan laci berisi buku-bukunya di toilet. Suatu waktu Mega mengambil salah satu buku dan lupa mengembalikannya. Kemudian Soekarno menyetrap Mega karena lupa pada halaman berapa buku tersebut sedang terbuka.”

Dalam catatan Badan Pusat Statistik tahun 2018 kita bisa melihat bagaimana Presiden Soekarno menaruh atensi lebih pada membaca. “Di Alun-alun Yogyakarta, 14 Maret 1948, Presiden Soekarno meluncurkan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf. Hasilnya: sukses. Dari 90 persen populasi Indonesia buta huruf di saat itu, sekarang (tahun 2023) 97 persen masyarakat Indonesia melek huruf.” Upaya itu menunjukkan Presiden Soekarno adalah salah satu dara pejuang bangsa ini yang bersikeras meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia melalui membaca.

Buku bacaan membentuk pola pikir para pendiri bangsa kita menjadi matang, dan paham betapa pentingnya suatu negara untuk merdeka. Buah pikir seorang penulis yang diperoleh dari proses penanaman, pengembangan, hingga pembentukan/produksi gagasan menjadi tulisan tidak terlepas lepas dari yang namanya kesadaran–kesadaran akan martabat manusia, kesadaran akan kebebasan individu dan masyarakat. Di mana kesadaran itu tidak akan tumbuh jika tidak membaca buku.

Sementara pada saat ini buku hampir menjadi benda asing yang sama sekali jauh dari kebiasaan hidup. Rujukan bertindak seseorang hanyalah berdasarkan pada pesan singkat media sosial, umpamanya (tanpa mendiskreditkan manfaat baik dari platform yang disebut) konten video TikTok yang hanya berdurasi 5 menit. Seringkali konten tersebut menjadi landasan seseorang dalam berkata, bertindak, bergaul, bergaya, dan sebagainya tanpa mengonfirmasi kebenarannya melalui membaca buku atau pengalaman seorang ahli.

Pun pada ruang-ruang profesional–sekalipun tidak kesemuanya–rujukan tindak-tanduk seseorang kerap bersumber dari konten berdurasi singkat yang bersifat empirik dan terbatas. Walhasil kesewenang-wenangan individu yang memiliki kedudukan, jabatan, atau posisi melahirkan asumsi subjektif yang dipostulatkan. Kasus-kasus yang melibatkan pejabat negara dan aparat penegak hukum di negara Indonesia sekurang-kurangnya cukup menjadi argumen dalam penjelasan ini.

Umpamanya, kasus yang melibatkan mantan menteri pertanian berinisial SYL. Situasi tersebut mempunyai irisan dengan jauhnya jarak SYL dengan buku. Andaikata SYL adalah orang cinta dengan buku, dakwaan uang yang dimanfaatkan untuk membiayai seorang biduan, bisa dimanfaatkan untuk membeli ribuan buku untuk dibaca. Sehingga setelah membeli ribuan buku, hasrat untuk membiayai biduan itu justru beralih menjadi hasrat membaca, karena dalam National Library of Medicine dijelaskan, membaca buku bisa menahan atau mengurangi gairah seksual seseorang yang disebabkan oleh kerja keras otak secara terus-menerus untuk menangkap, menafsirkan, dan menggambarkan teks yang sedang dibaca.

Sekali lagi, sangat sulit dibayangkan Indonesia bisa merdeka dari penjajah bila tanpa membaca. Sebab dengan membacalah semangat memperjuangkan hak kemerdekaan itu muncul. Dengan membaca kesadaran bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar itu hadir. Dengan membaca semangat rela mati demi tanah air itu lahir. Itulah sebabnya, Indonesia merdeka karena membaca.

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Farhan Azizi

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *